Posts tagged ‘.indonesia.’

::SBY-Boediono::

liat-liat ini jadi kepikiran buat menanggapi :

Ada tanggapan dari temen2? Ada yang ikut aksi? Atau yaudah lempeng aja? Atau ga peduli sama sekali?

Berbagai tanggapan di kampus yang saya liat berbunyi seperti  ini “kemiskinan salah siapa?” atau  “sudah 7 tahun Pak, Rakyat Menunggu terlalu lama”. Kata-kata ini seakan mempertanyakan kehadiran beliau yang kurang memberikan dampak yang signifikan. Coba kita balik bila kata-kata itu ditujukan kepada mahasiswa.  Nah lho?
Apa yang sudah kita lakukan? Apakah telah membuat masyarakat menunggu lama? ya! sama halnya cem-cem kasta atas sana menebar janji dan membuat masyarakat menunggu lama. istilahnya cintanya digantung, ga enak lhoo

Bagaimanapun aksinya, bagaimanapun tanggapannya dari berbagai kalangan, kita pasti punya tanggapan atau aksi yang elegan. Kita bisa bergerak di ranah kita, bukan begitu? Pengabdian masyarakat bisa jadi aksi yang elegan ; menjalankan fungsi jadi mahasiswa, membantu kerja SBY-Boediono, skaligus menyentil mereka. Tapi dikemas dalam satu paket yang lebih enak dinikmati

Bagaimana aksi teman-teman sekarang? Apakah sudah bergerak ke dunia nyata? Bisa kita sejenak kembali melihat tujuan dan mimpi kita lagi, atur strategi dan semangat kembali. Semangat beraksi dengan elegan . yang sarjana, yang masih mahasiswa, beraksilah dengan elegan. beraksi ke atas dan kebawah serta kesamping. yah, diartikanlah sendiri.

sampai saat ini yang ada hanyalah :

“kalo ada emosi pasti bersatu. emosi peduli yang bersifat nonpermanen”

smoga kita tidak begitu. teruslah asah pisau kepedulian yang tanpa syarat sperti bahagia. bahagia itu tanpa syarat. kepedulian itu sama halnya
Salam smangat mengabdi ❤

October 12, 2011 at 12:39 am Leave a comment

::kemana larinya sarjana kita::

nice post form my friend! oke gan!

Suatu ketika saya pernah pergi ke Desa Baros, sebuah desa kecil di  daerah Bandung Selatan. Di sana saya ingin mengadakan klinik gratis tiap minggunya bersama teman-teman farmasi yang lain tapi belum terealisasi sampai sekarang hanya karena permasalahan perijinan. Entahlah, mungkin orang sekarang lebih peduli kepada birokrasi dan nama dari pada konten atau esensi yang ingin dibawa. Tetapi di sini saya tidak ingin membahas permasalahan itu. Ada hal lain yang lebih menarik bagi saya.

Suatu ketika saya dan teman-teman melihat gedung yang digunakan sebagai puskesmas keliling, yang hanya buka sekali dalam seminggu. Kami temui berbagai macam obat yang terdapat di salah satu ruang gedung tersebut. Sebagai seorang calon farmasis tentunya kami ingin tahu obat apa saja yang ada di sana yang selanjutnya kami jadikan sebagai bahan kajian untuk mengetahui penyakit-penyakit yang umumnya diderita oleh masyarakat desa tersebut.

Yang menarik bagi saya bukan tentang penyakit yang banyak diderita masyarakat tersebut tapi tentang penampilan obat tersebut tentunya dari sisi pandang saya yang mempunyai latar belakang teknologi farmasi/farmasetika). Saya temui sebuah obat yang ering dan mudah kita temui sehari-hari. Jika anda berpikir tentang parasetamol maka anda benar. Parasetamol tersebut dalam bentuk tablet. Yang pertama kali membuat saya tertarik adalah barcode bertuliskan harga obat tersebut, 50 ribu rupiah dalam satu botol berisi 1000 tablet. Luar biasa saya pikir, obat seharga 50 ribu rupiah, murah meriah.

Rasa penasaran saya tak berhenti sampai di situ. Saya ingin mengetahui seperti apa tablet yang satu bijinya seharga 50 rupiah tersebut. Luar biasa lagi, setelah saya amat-amati banyak sekali debu/partikel yang terdapat di permukaan obat tersebut. Dan ketika tak sengaja ada yang terjatuh, booom….terbelahlah dia dengan seketika. Ya, inilah obat generik. Mungkin bisa dibilang generik dari generiknya generik. Di sini ada sebuah korelasi yang luar biasa (sekali lagi saya katakan luar biasa dan nanti anda akan tahu kenapa). Harga murah menghasilkan kualitas obat seperti yang telah saya ceritakan. Dalam dunia bisnis dan industi, hal yang paling mudah dilakukan adalah mencari bahan baku semurah mungkin untuk memperbesar margin keuntungan. Tapi farmasi tidak hanya tentang bisnis. Di dalamnya terkandung tanggung jawab sosial juga, apalagi bagi seseorang yang telah disumpah sebagai apoteker.

Seperti yang telah dipelajari dalam dunia farmasi bahwa tekologi pembuatan farmasi merupakan penunjang diantarkannya obat kepada target kerja obat. Tentu saja sediaan tablet memiliki proses yang panjang untuk mencapai target kerjanya. Perbedaan kondisi fisik suatu tablet akan berpengaruh kepada proses-proses farmasetika dan farmakokinetika dalam tubuh. Dengan kondisi tablet yang buruk, tentunya kita tahu apa konsekuensi di balik semua itu.

Hal yang luar biasa adalah kita sebagai seorang mahasiswa atau yang dulunya sebagai mahasiswa tentu tahu akan hal itu. Itu yang senantiasa kita pelajari dalam setiap kuliah-kuliah. Semuanya harus dibuat sempurna. Formulasi sempurna, perhitungan semmpurna, penimbangan sempurna, pengukuran sempurna, dan tentu saja hasil yang sempurna. Teramat beda dengan keadaan di luar kampus yang ternyata tidak ada bekas-bekas kesempurnaan itu, kalau boleh saya bilang.

Kalau saya pikir, dengan kualitas tablet yang semacam itu, mungkin orang akan sembuh bukan karena efek yang diberikan oleh obat, tapi lebih karena sugesti yang timbul dengan meminum obat tersebut. Teringat dengan masa kecil ketika datang ke puskesmas untuk berobat. Setiap saya datang selalu ada orang yang meminta disuntik. Waktu itu saya bertanya-tanya kenapa mereka selalu minta disuntik? Dan jawabannya saya temukan ketika ada tetangga yang bercerita kepada orang tua saya, ”saya pusing-pusing, minta suntik sama dokter itu langsung sembuh.” Ya, jawabannya adalah sugesti, dan ini akan banyak anda temui di kampung-kampung. Sugesti bukan hanya karena “suntik” tapi juga “dokter”, yang sebetulnya adalah mantri suntik atau perawat. Saya tidak menyalahkan sugesti dalam dunia pengobatan karena itu termasuk hal penting, tapi tidak terpikirkah kita, kenapa farmasis tidak membuat plasebo saja kalau permasalahannya hanya sugesti? Masyarakat tidak akan ada yang tahu kalau obat yang mereka minum adalah plasebo, bukan? Tapi seorang farmasis tidak bisa mengabaikan tanggung jawab sosial yang dibebankan.
Tanggung jawab sosial yang seharusnya menciptakan sesuatu yang terbaik untuk masyarakat, seperti yang sering kita temui di kampus-kampus dengan segala “kesempurnaannya” itu.

Tak habis pikir saya, ketika ITB (kampus saya) meluluskan tidak kurang dari 100 mahasiswa farmasi setiap tahunnya, dan entah ada berapa di universitas yang lainnya. Lalu kemana larinya setiap senti teknologi sediaan yang telah mereka pelajari? Bukankah universitas, sebagai dunia yang begitu imajiner (istilah kami), telah mengajarkan banyak hal tentang kesempurnaan? Nilai sempurna dan jawaban sempurna. Inilah yang hilang dari sini, suatu pandangan tentang dunia nyata di luar sana yang lebih dinamis. Yang berujung pada terseretnya kita pada dinamika kehidupannya dan membuat kita lupa dengan apa yang diajarkan. seperti berkata pada diri sendiri,”aku disana hanya mencari sesuatu dan sesuatu itu kini tak berguna lagi.” Inilah yang sering sekali hilang: sikap. Dan mungkin ini juga merupakan dampak dari pengajaran yang berbasis pada “kesempurnaan” tanpa memperhatikan bagaimana bersikap dalam “memandang keluar”, atau mungkin juga karena kita jarang sekali “melihat” ke luar sana.

Ini hanyalah sebuah contoh dari sekian banyak hal di luar sana. Di dunia farmasi yang kecil ini, mungkin ini hanya satu dari berjuta permasalahan yang seharusnya tidak menjadi masalah bagi kita. Di luar farmasi apa lagi, pasti lebih banyak permasalahan-permasalahan. Padahal banyak sekali universitas-universitas yang telah meluluskan sarjananya dengan bermodalkan pengetahuan yang telah dipelajari bertahun-tahun lamanya. Dan satu pertanyaan yang selalu terngiang-ngiang di pikiranku
adalah “kemana larinya sarjana kita?”.

October 9, 2011 at 4:18 pm Leave a comment

::Kesehatan yang dialihkan::

Setiap kita mendengar kata farmasi, yang terlintas di otak kita
adalah kesehatan dan obat. Sebuah kenyataan yang memang tak bisa
dipungkiri. Dan mungkin ini yang sering menyempitkan pemikiran kita
sendiri sebagai seorang farmasis bahwa farmasis terbatas pada
kesehatan. Saya tidak ingin turut mengkorelasikan secara langsung
antara farmasi dengan kesehatan ataupun menafikkan korelasi ini. Tapi
saya memandang ada sebuah korelasi yang unik setelah saya melihat lebih
apa yang ada di dunia farmasi sendiri.

Untuk mudahnya
kita berbicara tentang kesehatan terlebih dahulu. Apabila kita melihat
negeri kita sendiri, tampaknya kesehatan menjadi kendala yang besar dan
beban tersediri bagi pemerintah. Tidak usah kita berbicara tentang
kesehatan di pulau-pulau seberang atau daerah-daerah terpencil atau
pelosok-pelosok negeri ini. Cukup lihat tetangga kota kita
masing-masing, kampung-kampung pinggiran, atau bahkan di dalam kota
kita sendiri, tampaknya kesehatan memang merupakan permasalahan yang
cukup besar.

Berbicara tentang kesehatan berarti
berbicara juga tentang kesadaran diri. Sedangkan kesadaran diri
tergantung pada dua faktor besar yaitu pendidikan dan ekonomi. Kalau
kita perhatikan, orang-orang dengan pendidikan tinggi cenderung
memiliki kesadaran yang lebih lebar dalam menjaga kesehatan. Sedangkan
ekonomi lebih berpengaruh terhadap kemampuan untuk membeli kesehatan
itu sendiri. Dua hal inilah yang terlebih dahulu perlu diperhatikan
disamping ketersediaan fasilitas-fasilitas pendukung kesehatan itu
sendiri.

Saya pernah ikut penyelenggaraan klinik gratis
yang digagas oleh teman-teman dari Fakultas Kesehatan Universitas
Padjadjaran. Saya lihat bahwa tingkat pendidikan masyarakat telah
teratasi melalui tangan-tangan pemegang kasta tertinggi tingkat
pendidikan di Indonesia, yaitu perguruan tinggi. Kasta tersebut terdiri
dari mahasiswa, dosen, dan yang tertinggi adalah profesor. Saya
menggolongkannya berdasarkan pada pandangan masyarakat secara umum. Dan
tiap golongan pada kasta tertinggi ini memiliki tingkat keterpercayaan
tersendiri bagi masyarakat seiring dengan tingginya tingkat tersebut.
Masyarakat akan lebih percaya pada profesor dibandingkan dosen ataupun
mahasiswa. Di sinilah kasta tersebut berperan, sebagai panutan bagi
masyarakat melalui penyampaian yang baik, penyuluhan tentang kesehatan,
dan upaya lain.

Dengan begitu, permasalahan pendidikan
tidak akan menjadi faktor besar yang mempengaruhi tingkat kesehatan,
tentunya dengan peran kita sebagai pemilik kasta pendidikan tertinggi
yang diakui masyarakat. Kesadaran yang perlu dibentuk adalah kesadaran
diri pada kasta ini, untuk mau peduli dengan dunia di luar kandangnya.
Kesadaran yang masih sangat jarang saya lihat karena kesibukannya dalam
urusan di dalam kandang sendiri, kuliah, penelitian, proyek, atau
apalah itu yang saya rasa belum tentu berarti bagi masyarakat.

Logikanya
perguruan tinggi dibangun pertama kalinya untuk mencetak
manusia-manusia yang mampu memecahkan permasalahan di masyarakatnya.
Seandainya tidak pernah terlatih untuk memecahkan permasalahan ketika
masa pendidikannya, bagaiamana nanti bisa memecahkan masalah di
masyarakat? Bagaimana mungkin seorang pendidik, atau katakanlah dosen
dan profesor, akan mengajari mahasiswanya untuk memecahkan permasalahan
di masyarakat apabila sejengkal pun tidak pernah melangkahkan kakinya
ke masyarakat?

Oleh karenanya, orang mengatakan bahwa
dunia kampus adalah dunia yang imajiner, semacam dunia mimpi yang penuh
dengan sesuatu yang ideal tanpa diiringi idealisme penghuninya untuk
melaksanakan perannya di masyarakat. Bahkan, permasalahan tersebut tak
pernah terbayang di benak penghuninya, kecuali apa yang terlihat di TV,
koran, atau internet yang sebagian besar telah dibubuhi kepentingan
pemilik media tersebut. Dengan kata lain, pemilik kasta tertinggi
pendidikan yang merupakan kastanya orang-orang pintar telah dibohongi
karena tidak mau melihat langsung kondisinya di masyarakat.

Inilah
pentingnya sebuah kepedulian, bukan hanya sekedar nama, tapi lebih
kepada peran dan manfaat. Inilah sikap yang banyak ditinggalkan karena
lalainya akan tujuan dididiknya mahasiswa. Dunia pendidikan tidak lebih
dari sekedar ajang komersialisasi. Saya tidak bilang kampus dijadikan
tempat mencari uang oleh petinggi kampus, tidak juga memaksudkan kampus
hanya boleh dimasuki oleh orang-orang berduit (saya bukan aktivis yang
suka menggembor-gemborkan keburukan kebijakan). Tapi yang saya
maksudkan adalah kampus dijadikan oleh masyarakat di dalamnya,
khususnya mahasiswa, sebagai tempat untuk mempermudah mencari uang dan
gaji besar nantinya. Atau bisa dikatakan bahwa kampus sebagai tempat
komersialisasi diri (semoga para aktivis itu sadar untuk tidak
melakukan ini).

Komersialisasi diri ini yang membawa
mahasiswanya untuk berlaku ideal pada satu tempat tanpa diiringi
idealisme untuk berbagi. Tak bisa dipungkiri bahwa tujuan yang ingin
dicapai adalah nilai dan pengakuan. Saya tidak menafikkan kalau nilai
itu penting, sebagai sebuah parameter standar dalam dunia pendidikan
yang menentukan kesiapan mahasiswa untuk terjun ke masyarakat,
sekalipun sebetulnya tidak bisa dijadikan standar mutlak sebuah
kesiapan.

Inilah yang perlu dibenahi, sikap. Sikap yang
perlu dibangun oleh civitas akademika perguruan tinggi, tak terkecuali.
Bermula dari sebuah sikap dan berakhir pada tercapainya tujuan melalui
seribu jalan yang bisa ditempuh. Dunia kesehatan, pemikiran yang memang
perlu dipikirkan kembali karena begitu banyak faktor yang
mempengaruhinya, salah satunya bermula dari sebuah pendidikan.

jelas sudah. pendidikan kata kuncinya

engkong taufik, ikut share yaa

October 9, 2011 at 4:15 pm Leave a comment

:: great person ::

i’ve met, i’ve known, i’ve learn from, i’ve got, i’ve felt so many great, wonderfull, fabulous person what ever you said that inspring me. hua. all over the world, everybody try to improve their self to be much much much much better. some time i feel envy, suddenly dont get my self confidence, etc. and what gonna do when im in that situation? only hope, hope, hope, motivate my self, and keep spirit.

but do you know…the important are :

1. grateful, say THANKYOU GOD, thank you for everyone. what ever they do for you, even the worst things or the good ones.

2. be the best for your self, so that you need self management

3. be nice person, help others.

those’re the points! to stay in this world.

~in leadership training, i’ve met so many great people on we called it RWG (regional working group), i’ve known so many great experiences from other people in here.

ill use these chances very very very well!

and hopefully i can adapt it in my self,in my reality life.

thanks guys for this program! 😀

nice to meet you all!

3.02 p.m seoul

July 4, 2010 at 6:03 pm Leave a comment

Older Posts


yangoi.selalu.ceria.

we can share everything. love.laugh. happy.friendship.and sad stories even the darkest one.

.im a deadliner.

April 2024
M T W T F S S
1234567
891011121314
15161718192021
22232425262728
2930  

.stories.

.stories.

RSS deep pathetic to writing

  • An error has occurred; the feed is probably down. Try again later.